Ditulis oleh Peter Beckingham
Kathmandu, Ibu Kota Nepal, adalah kaleidoskop agama, kebangsaan, dan keajaiban arsitektural -- dan semuanya dalam jangkauan 30 menit naik pesawat dari pegunungan paling menakjubkan yang pernah saya lihat, Himalaya.
Kathmandu, Ibu Kota Nepal, adalah kaleidoskop agama, kebangsaan, dan keajaiban arsitektural -- dan semuanya dalam jangkauan 30 menit naik pesawat dari pegunungan paling menakjubkan yang pernah saya lihat, Himalaya.
Kami
tiba di Kathmandu dari Abu Dhabi setelah empat jam penerbangan yang
nyaman menggunakan Etihad Airlines, langsung disambut dengan prosedur
kedatangan yang repot. Di sana, foto visa saya bisa terbang dari tangan
petugas imigrasi, keluar jendela terminal sampai landasan pesawat, tapi
untungnya langsung ditangkap oleh petugas darat Etihad. Setelah melewati
bea cukai, kami menunggu 20 menit sampai agen perjalanan tiba. Seperti
kemudian kami ketahui, Kathmandu bukanlah kota bagi mereka yang lemah
hati, atau mencari kemewahan kelas bintang lima.
Tetapi
setelah kesulitan-kesulitan kecil ini, kami sampai di hotel Yak and
Yeti, salah satu akomodasi Kathmandu yang cukup tinggi kelasnya, masuk
ke kamar yang nyaman dengan pemandangan taman dan kolam renang (satu
penuh air, satunya kosong) dan menemukan bar di dekat pusat kota untuk
merayakan ketibaan kami di Nepal. Selanjutnya, kami makan kari di sebuah
restoran India di mana kami dihibur oleh dua penyanyi Nepal yang
menggairahkan.
Keesokannya, kami baru memulai tur berkeliling
kota. Agen perjalanan kami menjemput -- kami pikir dia terlambat lagi,
tapi ternyata waktu di Nepal itu anehnya 15 menit lebih lambat dari
kebanyakan zona waktu -- dan langsung kami dibawa ke berbagai tempat
luar biasa. Kuil Bodnath, dibangun dengan gaya arsitektur yang mirip
dengan negara tetangga Tibet, dari atapnya Anda bisa melihat pemandangan
indah serta warna-warni komunitas di sekitarnya. Selanjutnya kami
berhenti agak lama di situs keagamaan Hindu, Pashupathinath, tempat
peristirahatan terakhir bagi mereka yang berpulang. Pemandu Nepal kami
memberi penjelasan tentang ritual pemakaman. Dia membawa saya sangat
dekat ke tempat berapi yang sangat panas, tempat kaki-kaki manusia yang
belum terbakar dan tengkorak yang masih bisa terlihat bentuknya. Abu
jenazah itu kemudian ditabur di sungai berarus lambat yang dianggap
suci.
Setelah
tempat berbau kematian itu, kami siap untuk makan siang ringan berupa
kentang goreng dan sambal di sebuah kafe dengan pemandangan indah dekat
Patan, penuh dengan kuil dan istana yang dibangun pada abad ke-18. Kami
berjalan menuju alun-alun yang sibuk itu seusai makan siang, mampir dan
berhenti di beberapa kuil sebelum kembali ke Kathmandu. Setibanya di
sana, kami berjalan kaki selama satu jam menikmati Durbar Square, tempat
kami melihat lebih banyak kuil, dan mengakhiri hari di perbukitan
sambil melihat kota dari kejauhan -- dan ya, mengunjungi kuil lain
sambil melihat monyet berenang di kolam dekat situ.
Setelah mengelilingi Kathmandu yang eksotis dan berdebu, keesokannya kami pergi ke Himalaya. Kami meninggalkan Kathmandu dengan sedikit ketakutan menghadapi trek selama tiga hari ke Annapurna, dan setelah penerbangan 30 menit menaiki Yeti Airlines, kami tiba di Pokhara, kaki gunung Himalaya. Di sana pemandu kuil merangkap pemimpin trek, Rottna, bersama porter yang terus tersenyum, menyambut kami. Porter kami terus tersenyum mungkin karena kami benar-benar membawa jumlah baju minimum yang diperlukan untuk trekking. Dia hanya harus membawa 10 kg barang dibanding barang-barang yang harus dibawa porter lain, dibantu beberapa keledai, yang bisa sampai tiga kali lipat bawaan kami.
Setelah mengelilingi Kathmandu yang eksotis dan berdebu, keesokannya kami pergi ke Himalaya. Kami meninggalkan Kathmandu dengan sedikit ketakutan menghadapi trek selama tiga hari ke Annapurna, dan setelah penerbangan 30 menit menaiki Yeti Airlines, kami tiba di Pokhara, kaki gunung Himalaya. Di sana pemandu kuil merangkap pemimpin trek, Rottna, bersama porter yang terus tersenyum, menyambut kami. Porter kami terus tersenyum mungkin karena kami benar-benar membawa jumlah baju minimum yang diperlukan untuk trekking. Dia hanya harus membawa 10 kg barang dibanding barang-barang yang harus dibawa porter lain, dibantu beberapa keledai, yang bisa sampai tiga kali lipat bawaan kami.
Hari
pertama kami trekking, kami melewati lembah cantik di sepanjang
pinggiran sungai dan --yang membuat kami terkejut-- melewati banyak desa
kecil. Kami menjumpai petani, anak-anak sekolah dan orang tua menuju
akomodasi malam pertama kami di desa kecil Tikedungha. Di sana kami
menikmati makan malam dengan sajian nasi dan ayam, dilanjutkan dengan
anggur lokal yang bisa membuat mata berair, bersama dengan beberapa
pejalan dari Eropa dan Amerika, serta para pemandu dan pengangkut
barang. Akomodasi kami semalam seharga $5, maka tak mengejutkan jika
fasilitas kamar mandi yang kami dapatkan cukup sederhana. Setidaknya air
mandinya hangat, meski kami tidak pernah terbiasa dengan toilet
jongkok.
Keesokannya, kami berangkat lagi pukul 8 pagi. Alasannya adalah kami harus mendaki 3000 anak tangga di sisi gunung. Setelah itu, jalur yang kami lewati sedikit mendatar dan kami melewati lebih banyak hutan dan desa-desa. Setelah berjalan selama 5 jam dan berhenti beberapa kali, kami tiba di Ghorapani, perhentian kami sore itu, setelah melewati badai kencang. Meski begitu, pemandu kami berkeras bahwa badai ini adalah pertanda akan ada cuaca cerah keesokan harinya. Tempat kami tinggal memang sederhana, tapi menjadi hidup karena steak daging yak dan minuman keras lokal. Kami tidur cepat malam itu, berharap agar kami bisa melihat matahari terbit esok jam 5 pagi setelah cuaca berawan sepanjang siang.
Keesokannya, kami berangkat lagi pukul 8 pagi. Alasannya adalah kami harus mendaki 3000 anak tangga di sisi gunung. Setelah itu, jalur yang kami lewati sedikit mendatar dan kami melewati lebih banyak hutan dan desa-desa. Setelah berjalan selama 5 jam dan berhenti beberapa kali, kami tiba di Ghorapani, perhentian kami sore itu, setelah melewati badai kencang. Meski begitu, pemandu kami berkeras bahwa badai ini adalah pertanda akan ada cuaca cerah keesokan harinya. Tempat kami tinggal memang sederhana, tapi menjadi hidup karena steak daging yak dan minuman keras lokal. Kami tidur cepat malam itu, berharap agar kami bisa melihat matahari terbit esok jam 5 pagi setelah cuaca berawan sepanjang siang.
Saat
ini, kami sudah mencapai ketinggian 10 ribu kaki dan keesokan paginya,
kami melihat sebuah peringatan risiko berada di ketinggian saat melewati
semacam monumen buat pengunjung asal Australia yang tiba-tiba meninggal
tanpa tanda-tanda. Kami mendaki selama sejam sebelum fajar dan disambut
oleh cuaca yang dingin dan langit cerah di puncak Bukit Poon, luar
biasa pemandangan delapan puncak Himalaya.
Pemandu kami benar, badai semalam sebelumnya berubah jadi langit cerah pagi harinya.
Pemandu kami benar, badai semalam sebelumnya berubah jadi langit cerah pagi harinya.
Lalu
kami kembali ke penginapan untuk sarapan telur dan bacon sebelum
berjalan kembali selama 8 jam ke titik berangkat kami. Gradien yang
curam serasa makin tajam saat berjalan turun, kami pun merasakan
pergerakan otot-otot yang selama ini tidak kami kira ada. Akhirnya,
setelah satu jam menaiki taksi yang membikin merinding dan sangat reot
-- dan merasa sangat bangga dengan kemampuan trekking kami -- kami tiba
di Fish Tail Lodge di Pokhara. Esok harinya kami menghabiskan pagi
melihat pemandangan menakjubkan dari hotel dan berjalan-jalan ke toko
baju dan buku sebelum menaiki penerbangan siang menggunakan Yeti
Airlines kembali ke Kathmandu untuk menghabiskan semalam lagi di sana.
Malam itu, kami bertemu dengan seorang kawan lama asal Sydney di sebuah restoran India vegetarian yang tenang dan menyajikan makanan enak. Dia sudah pensiun dari Konsulat Inggris dan menghabiskan tiga tahun di Nepal mempelajari bahasa dan menyerap budaya lokal.
Pada hari terakhir itu, kami melihat lebih banyak lagi percampuran budaya di jalan-jalan kecil dan gang yang menakjubkan di kota Bhaktapur, dengan kuil-kuil abad 18 yang terjaga kondisinya dan satu lagi kafe di atap untuk menikmati suasananya. Setelah kembali ke Kathmandu untuk lebih banyak lagi jalanan sibuk yang masih diperbaiki dan sedikit kue dan teh di ruang duduk hotel yang beradab, tibalah waktunya untuk pergi ke bandara dan berpamitan pada teman, agen perjalanan dan Kathmandu.
Malam itu, kami bertemu dengan seorang kawan lama asal Sydney di sebuah restoran India vegetarian yang tenang dan menyajikan makanan enak. Dia sudah pensiun dari Konsulat Inggris dan menghabiskan tiga tahun di Nepal mempelajari bahasa dan menyerap budaya lokal.
Pada hari terakhir itu, kami melihat lebih banyak lagi percampuran budaya di jalan-jalan kecil dan gang yang menakjubkan di kota Bhaktapur, dengan kuil-kuil abad 18 yang terjaga kondisinya dan satu lagi kafe di atap untuk menikmati suasananya. Setelah kembali ke Kathmandu untuk lebih banyak lagi jalanan sibuk yang masih diperbaiki dan sedikit kue dan teh di ruang duduk hotel yang beradab, tibalah waktunya untuk pergi ke bandara dan berpamitan pada teman, agen perjalanan dan Kathmandu.
Enam
malam adalah perjalanan yang terlalu singkat, tapi cukup untuk memberi
rasa menakjubkan budaya dan pemandangan Nepal. Kami sempat membeli
pakaian trekking yang lebih baik, berguna untuk di Filipina atau di
Eropa, kami cukup yakin untuk kembali dan merasakan trek yang lebih lama
(lima atau enam hari) demi melihat sekilas gunung tertinggi dunia,
Everest. Kami cukup realistis untuk mengetahui kami tidak akan sampai ke
Base Camp, tapi cukup yakin untuk bisa menjalani trek yang lebih lama
di salah satu
jalur dengan pemandangan terindah di dunia.Sumber : Yahoo
0 komentar:
Posting Komentar